Jumat, 10 April 2015
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan dan keikhlasan
hati, puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan rahim-Nya yang
telah dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah
diberikan sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan.
Shalawat terbingkai salam semoga abadi
terlimpahkan kepada sang pembawa risalah kebenaran yang semakin teruji
kebenarannya baginda Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para
pengikutnya. Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini.
Setitik harapan dari kami, semoga
makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Kami menyadari
keterbatasan yang kami miliki. Untuk itu, kami mengharapkan dan menerima segala
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan ini. Akhirnya
hanya kepada Allah SWT., jualah kami memohon Rahmat dan Ridho-Nya.
Kuningan, 05 April 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam adalah agama
yang dirihoi oleh Allah SWT. dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Karena itu
tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama Islam yang mulia
ini sebagai bukti bahwa Islam benar-benar rahmatan lil’alamin.
Rasulullah SAW.
juga menganjurkan kepada kita untuk saling memberi hadiah satu sama lainnya,
karena dengan memberi hadiah maka akan saling mencintai dan menyayangi dengan
sesamanya.
Banyak sekali
istilah yang digunakan ketika seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain,
separti hibah, hadiah, sedekah, kado, wakaf, wasiat atau yang lainnya sesuai
dengan kondisi, situasi, momen dan evennya.
Dalam makalah
ini kami akan menguraikan tentang permasalahan wakaf, wasiat, hibah dan hadiah,
yang termasuk bagian dari perkara penting dalam urusan fiqih muamalah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian, dasar hukum,
rukun dan syarat wasiat, serta permasalahan tentang wasiat?
2. Apa pengertian,dasar hukum, rukun, dan syarat
wakaf serta pelaksannya ?
3. Apa pengertian, hukum, rukun, ketentuan dan
syarat tentang hibah ?
4. Apa pengertian, hukum, dan rukun hadiah ?
C. TUJUAN
1 Untuk mengetahui bagaimana pengertian, dasar
hukum, rukun dan syarat, serta permasalahan tentang wasiat.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengertian, dasar
hukum, rukun dan syarat, serta pelaksanaannya.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengertian, hukum,
ketentuan, dan syarat tentang hibah.
4. Untuk mengetahui bagaimana pengertian, hukum,
dan rukun tentang hadiah.
D. METODELOGI PENULISAN
Pada pembuatan
makalah ini metode yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu cara
mengumpulkan buku-buku yang direkomendasikan dan dari layanan internet yang
lebih luas lingkupnya. Sehingga, apabila dalam penulisan makalah ini ada
kata-kata yang hampir sama dari sumber atau penulis lain harap dimaklumi dan
merupakan unsur ketidaksengajaan.
E.
SISTEMATIKA PENYUSUNAN
Sistematika penyusunan ini dimulai dari BAB I yaitu pendahuluan, kemudian
BAB II yaitu pembahasan, dan BAB III yaitu penutup.
F.
KEGUNAAN PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terutama untuk para
rekan-rekan mahasiswa Universitas Al-Ihya kuningan atau bagi mahasiswa yang
dimanapun, dan juga bagi semua pihak yang berminat untuk memperoleh informasi
dan data dasar dalam mengadakan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan
penelitian ini, terutama mengenai peningkatan mutu pendidikan yang ada di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. WASIAT
1. Pengertian Wasiat
Menurut bahasa, lafal wasiat bermakna
menyampaikan. Sedangkan menurut istilah, wasiat adalah pesan tentang suatu
kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Dalam sebuah
fiqh Islam yang lain, wasiat tersebut digunakan sebagai istilah dengan makna
pemberian sesuatu kepada orang lain melalui pesan yang dinyatakan sebelum
pemberinya meninggal, dan direalisasikan pesan pemberiannya itu sesudah
pemberinya meninggal dunia.
Wasiat tersebut disyari’atkan Allah dalam
rangka membina kekuatan ekonomi keluarga yang mungkin tidak terjangkau oleh
norma kewarisan. Dengan adanya norma wasiat, semua yang berhak atas harta yang
akan ditinggalkan seseorang, terjangkau semuanya sehingga tidak akan ada yang
terabaikan, dan kehidupan keluarga serta yang ditinggalkannya itu tetap dalam
keadaan baik.
Wasiat tersebut disyari’atkan dalam Islam menyertai
norma pembagian harta waris, karena akibat ketatnya sistem pembagian warits,
seseorang yang semula akan memperolah hak warits, bisa terhalang oleh warits
yang lain, padahal secara ril dia atau mereka jauh lebuh layak dan mesti
menerima pembagian warits tersebut. Seperti, seorang anak yatim ditinggal mati
ayahnya, sebelum kakeknya meninggal.
2. Hukum Wasiat
Hukum wasiat adalah sunat. Akan tetapi, ada
pula para ulama yang berbeda pendapat tentang hukum wasiat tersebut. Ibnu Hazm
al-Andalusia berpendapat bahwa wasiat itu wajib bagi setiap yang akan meninggal
dunia dan meninggalkan harta peninggalan, baik sedikit atau banyak. Sementara
itu, para ulama fiqh dari empat mazhab fiqh berpendapat bahwa kedudukan hukum
wasiat tergantung pada keadaan, adakalanya wajib, nadb, haram, makruh, dan
adakalanya juga ibadah.
Menurut Sayyid Sabiq hukum wasiat ada beberapa macam,
yaitu :
a.
Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia
mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila ia tidak
berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada
manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau
haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia
mempunyai hutang yang tidak diketahuai selain dirinya, atau dia mempunyai
titipan yang tidak dipersaksikan.
b.
Sunnah
Wasiat itu disunnahkan bila diperuntukkan bagi
kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang shaleh.
c.
Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli
warits. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli warits seperti ini adalah batil
sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan
khamar, membangun gereja atau tempat hiburan.
d.
Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang fasik jika
diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu didalam
kefasikan dan kerusakan.
e.
Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada
orang kaya, baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan
kerabat).
3. Dasar Hukum Wasiat
a. Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah ayat 180 :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمْ
ألْمَوْتَ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا ألْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِوَالاَقْرَبِيْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ حَقًا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ [ البقرة : ١٨٠ ]
Artinya :
“Diwajibkan pada kalian semua, apabila kematian telah
tiba, (dan meninggalkan harta yang cukup), untuk menyampaikan pesan wasiat
kepada kedua orang tua, dan kerabat dekat dengan baik dan bijaksana. Semua itu
merupakan hak bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 180)
b. Hadits
Adapun hadits tentang wasiat ini, dalam kitab
Bulughul Maram dijelaskan bahwasanya :
َوَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي
الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ
اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ
أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ
اَلْجَارُودِ
Artinya :
Abu Umamah Al-Bahily ra. Berkata : aku mendengar
Rasulullah bersabda: “sesungguhnya allah telah memberi hak kepada tiap-tiap
yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Imam Empat
kecuali Nasa’i. Hadits hasan menurut Ahmad dan Tirmidzi, dandikuatkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud).
c. Ijma
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat
merupakan syari’at Allah dan Rasul-Nya. Ijma didasarkan pada ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadits.
4. Rukun dan Syarat Wasiat
a. Rukun Wasiat
1) Ada orang yang berwasiat, hendaknya bersifat
mukallaf dan berhak berbuat kebaikan serta dengan kehendaknya sendiri.
2) Ada yang menerima wasiat (maushilah).
Keadaannya hendaklah dengan jalan yang bukan maksiat, baik pada kemaslahatan
umum, seperti membangun mesjid, sekolah, atau lain-lainnya. Tetapi kalau kepada
yang tertentu, hendaklah ditambah syarat yang bersifat seseorang yang boleh
memiliki.
3) Sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat
berpindah milik dari seorang kepada orang lain.
4) Lafaz (kalimat), yaitu kalimat yang dapat
dipahami untuk wasiat.
b. Syarat Wasiat
1)
Syarat orang yang berwasiat
Adapun syarat dari orang yang berwasiat, ialah :
a) Baligh
b) Berakal sehat
c) Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari
pihak manapun.
Menurut Sayyid Sabiq disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah
orang yang ahli kebaikan. Yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan)
yang sah.
2) Syarat orang yang menerima wasiat
a) Bukan ahli waris dari orang yang berwasiat
b) Orang yang diberikan wasiat disyaratkan ada
dan benar-benar ada disaat wasiat dilaksanakan baik ada secara hayat maupun
secara pemikiran, seperti berwasiat kepada anak dalam kandungan, maka kandungan
itu harus ada diwaktu wasiat diterima.
c) Orang yang diberi wasiat bukanlah orang yang
membunuh orang yang memberi wasiat.
d) Tidak menolak pemberian wasiat
3) Syarat benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat
adalah benda-benda atau manfaat yang bisa dimiliki dan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan manusia secara positif.
Adapun syarat benda yang diwasiatkan tersebut
ialah sebagai berikut :
a) Jumlah wasiat tidak lebih dari 1/3 dari harta
yang ditinggalkan, karena kalu melebihi dari batas tersebut akan membawa
madharat bagi ahli waris sendiri, sebagaimana ditegaskan Rasulullah dalam salah
satu hadits yang berbunyi :
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِيْ وَقَاصٍ رَضِىَ اللّهُ
عَنْهُ قَالَ جَاءَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِيْ
وَاَنَا بِمَكَّةَ وَكُلْتُ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللّهِ اُوْصِى بِمَالِى كُلِّهِ
قَالَ لاَ قُلْتُ فَالشَّطْرُ قَالَ لاَ قُلْتُ اَلثُّلُثُ قَالَ فَالثُّلُثُ
وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ اِنْ تَدَعْ وَرَثَتَكَ اَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ اَنْ تَدَعْهُمْ
عَالَةً يَتَكَنَّفُوْنَ النَّاسَ فِيْ
اَيْدِيْهِمْ . رواه البخاري و مسلم ] ]
Artinya :
“Dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., dia berkata, bahwa
Rasulullah SAW. kembali ke Mekah dan aku berada di sana, kemudian aku bertanya
: ‘Wahai Rasulullah, bolehkah saya berwasiat dengan seluruh hartaku ?’. Beliau
menjawab: ‘Tidak’. Lalu saya bertanya kembali: ‘Bagaimana kalau separuhnya ?’.
Beliau menjawab: ‘Tidak’. Lalu saya bertanya lagi: ‘Bagaimana kalau sepertiganya’.
Beliau menjawab: ‘Sepertiga itu sudah cukup banyak. Jika engkau meninggal ahli
warismu kaya, itu akan lebih baik daripada meninggalkannya dalam keadaan fakir
dan miskin, dan meminta-minta pada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b) Dapat berpindah milik dari seseorang kepada
orang lain
c) Harus ada ketika wasiat diucapkan
d) Harus dapat memberi manfaat
e) Tidak bertentangan dengan hukum syara’.
Menurut pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa harta benda yang
diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris (ayat 2). Menurut Amir
Syarifuddin, harta yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi sepertiga harta
yang dimiliki oleh pewasiat.
Menurut pasal 195 ayat 2 bahwa wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujuinya. Pernyataan persetujuan dibuat lisan dihadapan dua orang
saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris. Pasal 195
ayat 4 menerangkan apabila wasiat melebihi sepertiga harta warisan sedangkan
ahli waris yang lain tidak menyetujui maka wasiatnya hanya dilaksanakan sampai
batas sepertiga harta warisan.
4) Syarat-syarat shighat
a) Kalimat dapat dimengerti maupun dipahami baik
dengan lisan maupun tulisan.
b) Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang
berwasiat meninggal dunia.
5. Permasalahan Tentang Wasiat
a. Yang tidak boleh menerima wasiat
Orang yang boleh menerima wasiat adalah
orang-orang yang tidak menjadi ahli waris. Jadi, intinya orang yang telah
menjadi ahli waris tidak berhak untuk menerima wasiat karena wasiat itu hanya
diperuntukkan kepada selain orang yang menjadi ahli waris.
b. Batalnya wasiat
Dari beberapa hal yang mengakibatkan batalnya
wasiat ada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Wasiat tidak mengikat kecuali apabila orang
yang berwasiat tersebut telah meninggal dan tetap dalam wasiatnya. Orang yang
berwasiat dapat menarik kembali wasiatnya sebelum meninggal. Bila si pemberi
wasiat ini menariknya, maka wasiat menjadi batal.
2) Gila dan rusak akal menghilangkan kecakapan
seseorang melakukan tindakan hukum. Wasiat yang pernah dibuat oleh orang yang
berwasiat dan kemudian orang tersebut tertimpa penyakit gila, wasiatnya menjadi
batal.
3) Bila orang yang berwasiat pada saat hidupnya
meninggalkan hutang, maka pelaksanaan wasiat dilakukan setelah pembayaran
hutang. Apabila hutang yang harus dibayar akan menghabiskan seluruh harta
kekayaannya maka wasiat yang pernah dibuat sebelumnya menjadi batal.
4) Bila penerima wasiat meninggal terlebih dahulu
dari orang yang memberi wasiat maka wasiat tersebut menjadi batal, karena
tujuannya tidak ada lagi.
5) Bila penerima wasiat membunuh si pemberi
wasiat, maka wasiatnya batal.
6) Penerima wasiat mempunyai hak untuk menolak
wasiat agar jangan sampai keberatan dalam melaksanakan wasiat.
7) Wasiat bisa batal apabila barang yang
diwasiatkan musnah.
Menurut Sayyid Sabiq wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat
dari syarat yang ada pada wasiat, misalnya sebagai berikut :
1) Bila orang yang berwasiat itu menderita
penyakit gila yang parah yang menyampaikannya pada kematian.
2) Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum
orang yang memberi wasiat itu mati.
3) Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang
rusak sebelum diterima oleh yang diberi wasiat.
Dalam rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal
jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang
memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga
batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dahulu meninggal dunia daripada
orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang
diwariskan itu musnah sebelum barang itu diterima oleh orang yang menerima
wasiat.
c. Wasiat wajibah
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan
oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi
putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Orang-orang yang mendapatwasiat wajibah adalah
cucu-cucu yang orang tuanya telah meninggal mendahului atau berbarengan dengan
pewaris. Mereka hanya diberi wasiat wajibah sebesar bagian orang tuanya dengan
ketentuan tidak melebihi dari 1/3 peninggalan. Oleh karena besar kecilnya
bagian orang tuanya itu tergantung dengan sedikit atau banyaknya saudara orang
tuanya, maka ada kemungkinan bahwa bagian orang tuanya 1/5, ¼, 1/3 atau ½
peninggalannya, kelebihannya itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Walaupun
cucu tersebut dapat menduduki kedudukan orang tuanya dalam memperoleh harta
warisan, namun jumlah yang diterimanya itu bukan semata-mata berdasarkan
mengkuasai (dengan fardh atau ushubah) tetapai berdasarkan wasiat wajibah. Oleh
karena itu memberikan bagiannya harus didahulukan daripada memberikan bagian
kepada ahli waris.
Dalam hukum penentuan wasiat wajibah adalah
kompromi dari pendappat-pendapat ulama salaf dan khalaf yang menurut Fathur
Rahman adalah tergantung kewajiban berwasiat kepada kerabat, kerabat yang tidak
dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat para fuqaha dan tabi’in besar
ahli fiqih dan ahli hadits.
B. WAKAF
1. Pengertian
Wakaf
Wakaf berasal
dari bahasa arab yaitu waqf yang berarti menahan dan menghentikan atau
mengekang. Sedangkan menurut istilah ialah menghentikan perpindahan milik suatu
harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga manfaat harta itu dapat digunakan
untuk mencari keridhaan allah SWT.
2. Dasar Hukum
Wakaf
Para ulama’berpendapat bahwa hukum wakaf itu
dianjurkan oleh agama, sebab padanya merupakan salah satu bentuk kebajikan.
Jadi, salah satu bentuk kebajikan melalui harta ialah dengan jalan berwakaf,
sebab orang lain akan mendapat manfaat dari harta yang dimanfaatkannya itu.
a. Al-Qur’an
·
Firman Allah dalam QS. al Hajj : 77.
....وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ. (الحج : ٧٧)
Artinya:
“dan perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan”.
·
Firman
Allah dalam QS. Ali Imran: 92.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا
تُحَبُّوْنَ. (آل عمران
: ٩٢)
Artinya :
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu
cintai”.
b. Hadits
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh
imam jama’ah kecuali bukhori dan ibnu majah dari Abi hurairah RA. Sesungguhnya
Nabi SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ اَلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ
ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ
يَدْعُو لَهُ )
Artinya :
“Dari
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya
kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang
bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya.”
3.
Rukun Wakaf
Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf,
diantaranya:
a.
Wakif ( orang yang berwakaf ), pemilik harta yang
mewakafkan hartanya dengan syarat kehendak sendiri bukan karena dipaksa.
b.
Mauquf ( harta yang diwakafkan ), pada permulaan
wakaf diisyaratkan pada zaman Rasulullah maka sifat-sifat harta yang diwakafkan
haruslah yang tahan lama dan bermanfaat seperti tanah dan kebun. Tetapi
kemudian para ulama berpendapat bahwa harta selain tanah dan kebunpun dapat
diwakafkan asal bermanfaat dan tahan lama, seperti binatang ternak, alat-alat
pertanian, kitab-kitab ilmu pengetahuan dan bangunan. Akan tetapi dalam hal ini
banyak para ulama yang berbeda pendapat. Adapun kesimpulan dari berbagai pendapat
tersebut pada asasnya semua harta yang bermanfaat dapat diwakafkan, hanya saja
harta yang tahan lama lebih lama pula mengalir pahalanya diterima oleh wakif
dibanding dengan harta yang tidak tahan lama.
c.
Mauquufalaih ( tujuan wakaf ), antara lain untuk mencari
keridhaan Allah SWT dan untuk kepentingan masyarakat.
d.
Lafadz atau ikrar wakaf (sighah) ialah kata-kata
atau pernyataan yang diucapkan atau dinyatakan oleh orang yang berwakaf, seperti: “Saya wakafkan ini kepada orang-orang
miskin”, atau “Saya wakafkan ini untuk membuat benteng dan kemaslahatan umum
lainnya”. Kalau mewakafkan kepada sesuetu yang tertentu hendaklah ada kabul
(jawab), tetapi wakaf untuk umum tidak disyaratkan kabul.
4.
Syarat-Syarat Wakaf
a. Untuk Selama-lamanya merupakan syarat sahnya amalan
wakaf, berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka jika seseoranga berkata “Saya
mewakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun” wakaf semacam itu
tidak sah karena tidak selamanya.
b. Tidak boleh dicabut bila dalam melakukan wakaf
telah sah maka pernyataan itu tidak boleh dicabut.
c. Pemilikan wakaf tidak boleh dipindahtangankan,
dengan terjadinya wakaf maka sejak itu harta wakaf telah menjadi milik Allah
SWT dan tidak boleh dipindahtangankan kepada siapapun dan wajib dilindungi.
d. Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada
umumnya, tidak sah wakaf bila tujuannya tidak sesuai atau bertentangan dengan
ajaran agama islam.
5.
Macam-Macam
Wakaf
Ada
dua macam wakaf yang terkenal dikalangan kaum muslimin, yaitu:
a. Wakaf
ahli atau wakaf keluarga yaitu wakaf yang diberikan kepada orang-orang
tertentu, seorang atau lebih, keluarga waqif atau bukan. Misalnya mewakafkan
sebidang tanah kepada seorang kyai.
b. Wakaf
khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum (orang banyak)
misalnya mewakafkan tanah untuk membangun musholla, masjid atau madrasah.
Manfaat yang diperoleh dari ibadah wakaf ini sangat besar, baik bagi diri yang
mewakafkan maupun terutama bagi masyarakat dan agama. Bagi diri pewakafnya,
manfaat dari wakaf antara lain dapat mengangkat derajat ketakwaannya disisi
Allah SWT.
6.
Manfaat
Wakaf
Adapun
manfaat wakaf bagi yang menerima
wakaf atau masyarakat antara lain:
a.
Dapat
menghilangkan kebodohan
b.
Dapat
menghilangkan ( mengurangi ) kemiskinan
c.
Dapat
menghilangkan ( mengurangi ) kesenjangan sosial
d.
Dapat
memajukan serta mensejahterakan umat
7.
Hikmah
Wakaf
a.
Harta
benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya.
Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau berpindah tangan, karena secara
prinsip barang wakaf tidak boleh ditassarufkan, apakah itu dalam bentuk
menjual, dihibahkan, atau diwariskan.
b. Pahala
dan keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika ia telah
meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan.
c. Wakaf
merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan
agama dan umat antara lain untuk pembinaan mental spiritual, dan pembangunan
physik
Oleh karena itu besarnya hikmah
dan manfaat terhadap kehidupan umat, maka perlu dibentuk dan dirancang aturan
yang mengikat mengenai wakaf ini.
8.
Pelaksanaan
Wakaf Di Indonesia
Pelaksanaan
wakaf diindonesia telah diatur oleh undang-undang republik indonesia No.41
tahun 2004 tentang wakaf yang disahkan oleh presiden RI Dr.H.Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 27 oktober 2004, dan diundangkan dijakarta pada tanggal
pengesahannya oleh sekretaris Negara RI saat itu Prof.Dr Yusril Ihza Mahendra
selain itu peraturan yang mengatur tentang masalah pewakafan tanah milik antara
lain:
·
Undang-undang
No.5 tahun 1960, tanggal 24 september 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria dan pasal 49 ayat
(1) memberi isyarat bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
peraturan pemerintah.
·
Peraturan
pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
Di indonesia, sebelum lahirnya UU No.41 tahun 2004,
Majelis ulama indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang, (
11/5/2002).
a. Wakaf
Uang ( Cash Wakaf Wagf al-Nuqud ) adalah waqaf yang dilakukan seseorang,
kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b.
Termasuk
kedalam uang adalah surat-surat berharga.
c. Wakaf
uang hukumnya jaaz ( boleh ).
d. Wakaf
uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara
syar’i.
e.
Nilai
pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannnya, tidak boleh dijual, dihibahkan,
dan atau diwariskan.
Undang-undang perwakafan tahun
2004 ini muncul dengan beberapa pertimbangan diantaranya:
· Bahwa
wakaf sebagai lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu
dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan
kesejahteraan umum.
· Bahwa
wakaf perbuatan hukum yang telah lama hidup an dilaksanakan dalam masyarakat,
yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan
undang-undang.
9.
Implementasi
Undang-Undang Tentang Wakaf
Undang-undang
tentang wakaf wajib dipahami dan diimplementasikan oleh para praktisi wakaf dan
lainnya seperti pemerintah, lembaga wakaf dan masyarakat sebagai objek sekligus
subjek wakaf. Dalam undang-undangtentang wakaf No. 4 tahun 2004 ini, salah satu
yang menarik dicermati dan dibahas yakni ihwal lembaga wakaf itu sendiri yang
berfungsi dalam mengurusi wakaf secara nasional. Bila pemerintah telah
menganggap penting undang-undang wakaf, itu artinya pemerintah telah sangat
paham tentang pentingnya wakaf bagi kaum muslimin.
10. Urgensi Badan Wakaf Indonesia
Amanah
undang-undang wakaf ini, salah satunya yakni terbentuknya Badan Wakaf Indonesia
(BWI) dan sesungguhnya menjadi tujuan lahirnya UU wakaf. Dengan lahirnya badan
perwakafan ini diproyeksikan perwakafan tanah air jauh lebih berkembang,
terutama sekali dalam hal pengawasan, pembinaan dan terpenting pengelolaan
wakaf itu sendiri.
11. Perwakafan
Dalam Undang-Undang Di Indonesia
a.
Wakaf
sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang perlu
dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum.
b.
Wakaf
merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam
masyarakat.
c.
Regulasi Perwakafan di Indonesia
1)
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2)
Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tantang Wakaf.
3)
Peraturan
pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004.
4)
Peraturan
pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
d.
Benda Tidak Bergerak yang Dapat Diwakafkan
1)
Hak
atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.
2)
Bangunan
atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah dan atau bangunan.
3)
Tanaman
dan beda lain yang berkaitan dengan tanah
4)
Hal
milik atas satuan rumah sesuai dengan peraturan perundag-undangan yang berlaku.
5)
Benda
tidak bergerak lain yang sesuai dengan sejarah dan peraturan perundang-unagan.
e.
Benda Bergerak yang dapat Diwakafkan
1)
Uang
Rupiah
2)
Logam
Mulia
3)
Surat
Berharga
4)
Benda
bergerak lain yang berlaku
5)
Kendaraan
6)
Hak
atas kekayaan intelektual
7)
Hak
sewa sesuai ketentuan syariah dan peraturan perunda-undanga yang berlaku.
f.
Unsur-Unsur Wakaf
1)
Wakif
2)
Nadzir
3)
Harta
Benda Wakaf
4)
Peruntukan
Wakaf
5)
Jangka
Waktu Wakaf
6)
Sighat
Wakaf/Akad
g.
Wakif
1)
Wakif
perseorangan (dewasa, sehat, dan cakap) Organisasi (Pengurus
memenuhi syarat sebagai wakif perseorangan, bergerak dalam bidang sosial/pendidikan/kemasyarakatan/keagamaan
Islam.
2)
Badan
Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai wakif perseorangan, Badan Hukum sah,
bergerak dalam bidang sosial/pendidikan/keagamaan Islam dan kemasyarakatan.
3)
Pemilik
sah harta benda yang akan diwakafkan.
h.
Nadzir
1)
Nadzir
Perorangan (dewasa, sehata, cakap).
2)
Organisasi
(Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, bergerrak dalam bidang
sosial/pemdidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.
3)
Badan
Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, Badan Hukum sah,
bergerak dalam bidang sosial/ pendidikan/kemasyarakatan /keagamaan Islam.
4)
Terdaftar
di BWI dan Kemenag (Pendaftaran dapat dilaksanakan setelah proses wakaf bagi
nadzir baru.
i.
Tugas Nadzir
1)
Pengadministrasian
2)
Mengelola
dan mengembangkan harta wakaf sesuai tujuan
3)
Mengawasi
proses pengelolaan
4)
Melaporkan
hasil pengelolaan kepada BW) dan Kemenag.
5)
Nadzir
dapat memperoleh imbalan maksimal 10 % dari hasil pengelolaan.
j.
Tata Cara Perwakafan Tanah Milik
1)
Calon
Wakif menyerahkan bukti kepemilikan tanah yang akan diwakafkan berupa
sertifikat, Keterangan tidak sengketa Pendaftaran tanah, Keterangan Bupati
tentang kesesuaian Master Plan untuk diteliti PPAIW.
2)
PPAIW
melakukan pemeriksaan terhadap Nazir.
3)
Wakif
menyatakan Ikrar Wakaf dihadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan 2 orang saksi
bermaterai cukup.
4)
PPAIW
menuangan Ikrar Wakaf alam bentuk tertulis.
5)
PPAIW
menuangkan membuat AIW ditandatangani Wakif, Nazir, Saksi dan PPAIW.
6)
AIW
diserahkan kepada Nazir beserta dokumen tanah.
7)
PPAIW
menerbitkan pendaftaran wakaf dan mendaftarkan kepada BWI dan Menteria Agama
dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi.
8)
PPAIW memberikan bukti pendaftaran harta wakaf
kepada Nazir.
9)
Nazir
mengurus sertifikat tanah wakaf ke BPN.
10) Terbit Sertifikat Tanah Wakaf.
k.
Wakaf Benda Bergerak Selain Uang
1)
Calon
Wakif menyerahkan dokumen bukti kepemilikan hata benda wakaf (jika ada).
2)
PPAIW
melakukan pemeriksaan Nazhir.
3)
Wakif
menyatakan Ikrar Wakaf di hadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan dua oang
saksi.
4)
PPAIW menuangkan Ikrara Wakaf dalam bentuk
tertulis.
5)
PPAIW membuat AIW ditandatangani Wakif,
Nazhir, saksi, PPAIW bermaterai cukup.
6)
AIW
disrahkan kepada Nazhir beserta Harta Wakaf.
7)
PPAIW mendaftarkan Benda Wakaf kepada BWI dan
Menag dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi.
8)
Nazhir
mengurus pengalihan bukti kepemilikan kepada Instansi terkait.
9)
Terbit
bukti kepemilikan Harta Benda Wakaf.
l.
Mengganti
barang wakaf
Barang
yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual.Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf itu
sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai
jual setelahbarang tersebut dijual. Artinya, hasil jualnyadibelikan gantinya.
Dalam keadaan demikian, mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara
demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dantujuan wakaf
semula tetap dapatditeruskan, yaitu memanfaatkan barang yangdiwakafkan tadi. Sayyidina Umar
r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi masjid
yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru
tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok
wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti barang wakaf tanpa
menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan menurut inti dan tujuan
hukumnya.
C. HIBAH
1. Pengertian Hibah
Menurut bahasa hibah artinya pemberian.
Sedangkan menurut istilah hibah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang secara
cuma-cuma tanpa mengharapkan apa-apa. Dalam pembahasan fiqh Islam lafal hibah
yakni pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan
untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya, dan langsung pindah pemilikannya saat
akad hibah dinyatakan.
Pembarian tersebut dilakukan atas dasar kasih
sayang serta dilatar belakangi oleh perasaan iba atau rasa kasihan untuk
pengembangan ekonomi dari yang diberi pemberian hibah tersebut. Umpamanya hibah
seorang ayah terhadap anaknya untuk pengembangan usaha kehidupan, atau hibah
seorang kakek terhadap cucunya.
2. Hukum Hibah
Hukum hibah adalah mubah (boleh). Adapun
dengan hal ini, diperbolehkan memberikan sesuatu kepada orang lain, asal barang
atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah
SWT.
3. Dasar Hukum Hibah
a. Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 177 :
وَاَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَى
وَالْيَتَمَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّآئِلِيْنَ. (البقرة :١٧٧)
Artinya :
“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan
orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah : 177)
b. Hadits
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. sebagai berikut :
مَنْ جَاءَهُ مِنْ أَخِيهِ مَعْرُوفٌ، مِنْ
غَيْرِ إِشْرَافٍ وَلَا مَسْأَلَةٍ، فَلْيَقْبَلْهُ وَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّمَا
هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ
Artinya :
“Dari Khalid bin ‘Adi sesungguhnya Nabi SAW. telah
bersabda ‘Barangsiapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak
berlebih-lebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan
ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan rizki yang diberikan
oleh Allah kepadanya’.” (HR. Ahmad)
4. Rukun Hibah
Rukun hibah ada empat macam sebagai berikut :
a.
Pemberi hibah
Syaratnya ialah :
1)
Orang yang berhak memperedarkan hartanya dan
memiliki barang yang diberikan.
2)
Baligh, berakal, dan cerdas. Maka anak kecil, orang gila, dan yang
menyia-nyiakan harta tidak sah memberikan harta benda mereka kepada yang lain,
begitu juga wali terhadap harta benda yang diserahkan kepadanya.
3)
Tidak memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan/pemboros.
b.
Penerima hibah
Yakni ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak
memiliki. Tidak sah memberi kepada anak yang masih berada di dalam kandungan
ibunya dan pada binatang, karena keduanya tidak dapat memiliki.
c.
Barang yang dihibahkan
Yakni ada barang yang diberikan, syaratnya
hendaknya barang itu dapat dijual, kecuali :
1) Barang-barang yang kecil. Misalnya dua atau
tiga butir biji beras, tidak sah dijual, tetapi sah diberikan.
2) Barang yang tidak diketahui tidaklah sah
dijual, tetapi sah diberikan.
3) Kulit bangkai sebelum disamak tidaklah sah
dijual, tetapi sah diberikan.
d.
Penyerahan
Yakni adanya ijab dan kabul, misalnya orang
yang memberi berkata, “Saya berikan ini kepada engkau.” Jawab yang diberi,
“Saya terima.” Kecuali sesuatu yang menurut kebiasaan memang tidak perlu
mengucapkan ijab dan kabul, misalnya seorang istri menghibahkan gilirannya
kepada madunya, dan bapak memberikan pakaian kepada anaknya yang masih kecil.
Tetapi apabila suami memberikan perhiasan kepada istrinya, tidaklah menjadi
milik istrinya selain dengan ijab dan kabul. Perbedaan antara pemberian bapak
kepada anak dengan pemberian suami kepada istri ialah: bapak adalah wali
anaknya, sedangkan suami bukanlah wali terhadap istrinya. Pemberian pada waktu
perayaan mengkhitan anak hendaklah dilakukan menurut adat yang berlaku di
tiap-tiap tempat tentang perayaan itu.
5. Ketentuan Hibah
Ketentuan hibah antara lain adalah sebagai berikut :
a. Hibah dapat dianggap sah apabila pemberian itu
sudah mengalami proses serah terima. Jika hibah itu baru diucapkan dan belum
terjadi serah terima maka yang demikian itu belum termasuk hibah.
b. Jika barang yang dihibahkan itu telah diterima
maka yang menghibahkan tidak boleh meminta kembali kecuali orang yang memberi
itu orangtuanya sendiri (ayah/ibu) kepada anaknya. Misalnya, hibah yang
diberikan seorang ayah terhadap anaknya, yang dia lakukan untuk pembinaan dan
pengembangan kehidupannya. Jika ayahnya itu melihat bahwa dengan hibah tersebut,
anaknya justru menjadi lebih nakal dan semakin tidak teratur, maka dia boleh
menarik kembali hibahnya itu. Selain hibah ayah terhadap anaknya itu, pemberi
hibah tidak boleh menarik hibahnya kembali. Sebagaimana dikemukakan dalam salah
satu hadits Nabi SAW. yang berbunyi :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ
رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ اَنْ
يُعْطِيَ عَطِيَّةً اَوْ يَهِبُ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا اِلاَّالْوَالِدَ
فِيْمَا يُعْطِىْ وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِيْ يُعْطِى الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ
فِيْهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَاْكُلُ فَإِذَا شَبَعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِيْ
قَيْءِهِ . (رواه ابو داود)
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata, bahwa Rasulullah SAW.
bersabda, seseorang tidak boleh memberi sesuatu kemudian menarik kembali
pemberiannya itu, kecuali pemberian ayah terhadap anaknya. Perumpamaan orang
yang memberikan sesuatu kemudian menarik kembali pemberiannya itu, seperti
anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Abu Dawud)
6. Syarat-syarat Barang yang Dihibahkan
Disyaratkan barang yang akan dihibahkan sebagai berikut :
a. Harus ada waktu hibah
b. Harus berupa harta yang bermanfaat
c. Milik sendiri
d. Barang yang dihibahkan telah diterima oleh
penerima
e. Penerima menerima hibah atas izin pemberi
hibah
Adapun syarat-syarat bagi penghibah
disyaratkan sebagai berikut :
a. Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya
karena suatu alasan
c. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak
kurang kemampuannya
d. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab akad yang
mensyaratkan
e. Keridhaan dalam keabsahannya
7. Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a. Hibah barang, yaitu memberikan harta atau
barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau
barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada harapan apapun. Misalnya
menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
b. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada
pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun
materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata
lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau
hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan
hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman
(ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan
manfaatnya harus dikembalikan.
8. Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
a. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
b. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
c. Dapat mempererat tali silaturahmi
d. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka
D. HADIAH
1. Pengertian Hadiah
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada
seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan.
Rasulullah SAW. menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah.
Karena yang demikian itu dapat memumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antar
sesama muslim. Rasulullah SAW. bersabda : artinya “hendaknya kalian saling
memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi.” (HR. Abu Ya’la)
2. Hukum Hadiah
Hukum hadiah adalah boleh (mubah). Adapun
tentang dibolehkan untuk memberikan hadiah terdapat keterangan yang menjadi
dasar hukum hadiah tersebut.
3. Dasar Hukum Hadiah
a. Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 :
....وَتَعَاوَنُوْا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى.... (الماءدة : ٢)
Artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa,...” (QS. Al-Maidah : 2)
b. Hadits
Nabi SAW. sendiri pun juga sering menerima dan memberi hadiah kepada sesama
muslim, sebagaimana sabdanya:
عنْعَائِشَةَرَضِيَاللَّهُعَنْهَاقَالَتْكَانَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَقْبَلُالْهَدِيَّةَوَيُثِيبُعَلَيْهَ
Artinya :
“Rasulullah SAW. menerima hadiah dan beliau selalu
membalasnya.” (HR. Al-Bazzar)
4. Rukun Hadiah
Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya sama, yaitu :
a. Orang yang memberi, syaratnya orang yang
memberi benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya.
b. Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak
memiliki.
c. Barang yang diberikan, syaratnya barang dapat
dijual.
d. Ijab qabul.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
- Wasiat adalah pemberian sesuatu kepada orang lain melalui pesan yang dinyatakan sebelum pemberinya meninggal, dan direalisasikan pesan pemberiannya itu sesudah pemberinya meninggal dunia.
- Wakaf adalah menghentikan perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan allah SWT.
- Hibah adalah pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya, dan langsung pindah pemilikannya saat akad hibah dinyatakan.
- Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW. menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Fenny
Rahman. HS, M.Pd. 2015. Fiqih – Zakat, Mawaris, dan Wakaf. Yogyakarta : K-Media
Rasyid, sulaiman. 1994. Fiqh islam (hukum fiqh
lengkap) . Bandung:Sinar Baru Algensindo
Abidin , slamet. 1998. Fiqh ibadah . Bandung: CV.PUSTAKA
SETIA
Suyono , moh. HS.1998. Fiqh ibadah . Bandung: CV.PUSTAKA
SETIA
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar