Jumat, 10 April 2015

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan rahim-Nya yang telah dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah diberikan sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan.
Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang pembawa risalah kebenaran yang semakin teruji kebenarannya baginda Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya. Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini.
Setitik harapan dari kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Kami menyadari keterbatasan yang kami miliki. Untuk itu, kami mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT., jualah kami memohon Rahmat dan Ridho-Nya.
                                                                                               Kuningan, 05 April 2015

                                                                                                               Penulis




BAB I
PENDAHULUAN
      A.    LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang dirihoi oleh Allah SWT. dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Karena itu tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama Islam yang mulia ini sebagai bukti bahwa Islam benar-benar rahmatan lil’alamin.
Rasulullah SAW. juga menganjurkan kepada kita untuk saling memberi hadiah satu sama lainnya, karena dengan memberi hadiah maka akan saling mencintai dan menyayangi dengan sesamanya.
Banyak sekali istilah yang digunakan ketika seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain, separti hibah, hadiah, sedekah, kado, wakaf, wasiat atau yang lainnya sesuai dengan kondisi, situasi, momen dan evennya.
Dalam makalah ini kami akan menguraikan tentang permasalahan wakaf, wasiat, hibah dan hadiah, yang termasuk bagian dari perkara penting dalam urusan fiqih muamalah.
     B.     RUMUSAN MASALAH
1.     Apa pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat wasiat, serta permasalahan tentang wasiat?
2.      Apa pengertian,dasar hukum, rukun, dan syarat wakaf serta pelaksannya ?
3.      Apa pengertian, hukum, rukun, ketentuan dan syarat tentang hibah ?
4.      Apa pengertian, hukum, dan rukun hadiah ?
     C.    TUJUAN
1  Untuk mengetahui bagaimana pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat, serta permasalahan tentang wasiat.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat, serta pelaksanaannya.
3.      Untuk mengetahui bagaimana pengertian, hukum, ketentuan, dan syarat tentang hibah.
4.      Untuk mengetahui bagaimana pengertian, hukum, dan rukun tentang hadiah.
  
     D.    METODELOGI PENULISAN
Pada pembuatan makalah ini metode yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu cara mengumpulkan buku-buku yang direkomendasikan dan dari layanan internet yang lebih luas lingkupnya. Sehingga, apabila dalam penulisan makalah ini ada kata-kata yang hampir sama dari sumber atau penulis lain harap dimaklumi dan merupakan unsur ketidaksengajaan. 
     E.     SISTEMATIKA PENYUSUNAN
Sistematika penyusunan ini dimulai dari BAB I yaitu pendahuluan, kemudian BAB II yaitu pembahasan, dan BAB III yaitu penutup. 
     F.     KEGUNAAN PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terutama untuk para rekan-rekan mahasiswa Universitas Al-Ihya kuningan atau bagi mahasiswa yang dimanapun, dan juga bagi semua pihak yang berminat untuk memperoleh informasi dan data dasar dalam mengadakan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan penelitian ini, terutama mengenai peningkatan mutu pendidikan yang ada di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
      A.    WASIAT
1.      Pengertian Wasiat
Menurut bahasa, lafal wasiat bermakna menyampaikan. Sedangkan menurut istilah, wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Dalam sebuah fiqh Islam yang lain, wasiat tersebut digunakan sebagai istilah dengan makna pemberian sesuatu kepada orang lain melalui pesan yang dinyatakan sebelum pemberinya meninggal, dan direalisasikan pesan pemberiannya itu sesudah pemberinya meninggal dunia.
Wasiat tersebut disyari’atkan Allah dalam rangka membina kekuatan ekonomi keluarga yang mungkin tidak terjangkau oleh norma kewarisan. Dengan adanya norma wasiat, semua yang berhak atas harta yang akan ditinggalkan seseorang, terjangkau semuanya sehingga tidak akan ada yang terabaikan, dan kehidupan keluarga serta yang ditinggalkannya itu tetap dalam keadaan baik.
Wasiat tersebut disyari’atkan dalam Islam menyertai norma pembagian harta waris, karena akibat ketatnya sistem pembagian warits, seseorang yang semula akan memperolah hak warits, bisa terhalang oleh warits yang lain, padahal secara ril dia atau mereka jauh lebuh layak dan mesti menerima pembagian warits tersebut. Seperti, seorang anak yatim ditinggal mati ayahnya, sebelum kakeknya meninggal.
2.      Hukum Wasiat
Hukum wasiat adalah sunat. Akan tetapi, ada pula para ulama yang berbeda pendapat tentang hukum wasiat tersebut. Ibnu Hazm al-Andalusia berpendapat bahwa wasiat itu wajib bagi setiap yang akan meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan, baik sedikit atau banyak. Sementara itu, para ulama fiqh dari empat mazhab fiqh berpendapat bahwa kedudukan hukum wasiat tergantung pada keadaan, adakalanya wajib, nadb, haram, makruh, dan adakalanya juga ibadah.
Menurut Sayyid Sabiq hukum wasiat ada beberapa macam, yaitu :
a.      Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila ia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahuai selain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
b.      Sunnah
Wasiat itu disunnahkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang shaleh.
c.       Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli warits. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli warits seperti ini adalah batil sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja atau tempat hiburan.
d.      Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu didalam kefasikan dan kerusakan.
e.       Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang kaya, baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).
3.      Dasar Hukum Wasiat
a.      Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah ayat 180 :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمْ ألْمَوْتَ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا ألْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِوَالاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ [ البقرة : ١٨٠ ]
Artinya :
“Diwajibkan pada kalian semua, apabila kematian telah tiba, (dan meninggalkan harta yang cukup), untuk menyampaikan pesan wasiat kepada kedua orang tua, dan kerabat dekat dengan baik dan bijaksana. Semua itu merupakan hak bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 180)
b.      Hadits
Adapun hadits tentang wasiat ini, dalam kitab Bulughul Maram dijelaskan bahwasanya :
َوَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Artinya :
Abu Umamah Al-Bahily ra. Berkata : aku mendengar Rasulullah bersabda: “sesungguhnya allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits hasan menurut Ahmad dan Tirmidzi, dandikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud).
c.       Ijma
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syari’at Allah dan Rasul-Nya. Ijma didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits.
4.      Rukun dan Syarat Wasiat
a.      Rukun Wasiat
1)      Ada orang yang berwasiat, hendaknya bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebaikan serta dengan kehendaknya sendiri.
2)      Ada yang menerima wasiat (maushilah). Keadaannya hendaklah dengan jalan yang bukan maksiat, baik pada kemaslahatan umum, seperti membangun mesjid, sekolah, atau lain-lainnya. Tetapi kalau kepada yang tertentu, hendaklah ditambah syarat yang bersifat seseorang yang boleh memiliki.
3)      Sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seorang kepada orang lain.
4)      Lafaz (kalimat), yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
b.      Syarat Wasiat
1)      Syarat orang yang berwasiat
Adapun syarat dari orang yang berwasiat, ialah :
a)      Baligh
b)      Berakal sehat
c)      Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun.
Menurut Sayyid Sabiq disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan. Yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.
2)      Syarat orang yang menerima wasiat
a)      Bukan ahli waris dari orang yang berwasiat
b)      Orang yang diberikan wasiat disyaratkan ada dan benar-benar ada disaat wasiat dilaksanakan baik ada secara hayat maupun secara pemikiran, seperti berwasiat kepada anak dalam kandungan, maka kandungan itu harus ada diwaktu wasiat diterima.
c)      Orang yang diberi wasiat bukanlah orang yang membunuh orang yang memberi wasiat.
d)     Tidak menolak pemberian wasiat
3)      Syarat benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah benda-benda atau manfaat yang bisa dimiliki dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia secara positif.
Adapun syarat benda yang diwasiatkan tersebut ialah sebagai berikut :
a)      Jumlah wasiat tidak lebih dari 1/3 dari harta yang ditinggalkan, karena kalu melebihi dari batas tersebut akan membawa madharat bagi ahli waris sendiri, sebagaimana ditegaskan Rasulullah dalam salah satu hadits yang berbunyi :
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِيْ وَقَاصٍ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِيْ وَاَنَا بِمَكَّةَ وَكُلْتُ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللّهِ اُوْصِى بِمَالِى كُلِّهِ قَالَ لاَ قُلْتُ فَالشَّطْرُ قَالَ لاَ قُلْتُ اَلثُّلُثُ قَالَ فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ اِنْ تَدَعْ وَرَثَتَكَ  اَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ اَنْ تَدَعْهُمْ عَالَةً يَتَكَنَّفُوْنَ  النَّاسَ فِيْ اَيْدِيْهِمْ . رواه البخاري و مسلم ] ]
Artinya :
“Dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. kembali ke Mekah dan aku berada di sana, kemudian aku bertanya : ‘Wahai Rasulullah, bolehkah saya berwasiat dengan seluruh hartaku ?’. Beliau menjawab: ‘Tidak’. Lalu saya bertanya kembali: ‘Bagaimana kalau separuhnya ?’. Beliau menjawab: ‘Tidak’. Lalu saya bertanya lagi: ‘Bagaimana kalau sepertiganya’. Beliau menjawab: ‘Sepertiga itu sudah cukup banyak. Jika engkau meninggal ahli warismu kaya, itu akan lebih baik daripada meninggalkannya dalam keadaan fakir dan miskin, dan meminta-minta pada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b)      Dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain
c)      Harus ada ketika wasiat diucapkan
d)     Harus dapat memberi manfaat
e)      Tidak bertentangan dengan hukum syara’.
Menurut pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris (ayat 2). Menurut Amir Syarifuddin, harta yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi sepertiga harta yang dimiliki oleh pewasiat.
Menurut pasal 195 ayat 2 bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. Pernyataan persetujuan dibuat lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris. Pasal 195 ayat 4 menerangkan apabila wasiat melebihi sepertiga harta warisan sedangkan ahli waris yang lain tidak menyetujui maka wasiatnya hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.
4)      Syarat-syarat shighat
a)      Kalimat dapat dimengerti maupun dipahami baik dengan lisan maupun tulisan.
b)      Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
5.      Permasalahan Tentang Wasiat
a.      Yang tidak boleh menerima wasiat
Orang yang boleh menerima wasiat adalah orang-orang yang tidak menjadi ahli waris. Jadi, intinya orang yang telah menjadi ahli waris tidak berhak untuk menerima wasiat karena wasiat itu hanya diperuntukkan kepada selain orang yang menjadi ahli waris.
b.      Batalnya wasiat
Dari beberapa hal yang mengakibatkan batalnya wasiat ada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)      Wasiat tidak mengikat kecuali apabila orang yang berwasiat tersebut telah meninggal dan tetap dalam wasiatnya. Orang yang berwasiat dapat menarik kembali wasiatnya sebelum meninggal. Bila si pemberi wasiat ini menariknya, maka wasiat menjadi batal.
2)      Gila dan rusak akal menghilangkan kecakapan seseorang melakukan tindakan hukum. Wasiat yang pernah dibuat oleh orang yang berwasiat dan kemudian orang tersebut tertimpa penyakit gila, wasiatnya menjadi batal.
3)      Bila orang yang berwasiat pada saat hidupnya meninggalkan hutang, maka pelaksanaan wasiat dilakukan setelah pembayaran hutang. Apabila hutang yang harus dibayar akan menghabiskan seluruh harta kekayaannya maka wasiat yang pernah dibuat sebelumnya menjadi batal.
4)      Bila penerima wasiat meninggal terlebih dahulu dari orang yang memberi wasiat maka wasiat tersebut menjadi batal, karena tujuannya tidak ada lagi.
5)      Bila penerima wasiat membunuh si pemberi wasiat, maka wasiatnya batal.
6)      Penerima wasiat mempunyai hak untuk menolak wasiat agar jangan sampai keberatan dalam melaksanakan wasiat.
7)      Wasiat bisa batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Menurut Sayyid Sabiq wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat yang ada pada wasiat, misalnya sebagai berikut :
1)      Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang menyampaikannya pada kematian.
2)      Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberi wasiat itu mati.
3)      Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh yang diberi wasiat.
Dalam rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang itu diterima oleh orang yang menerima wasiat.
c.       Wasiat wajibah
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Orang-orang yang mendapatwasiat wajibah adalah cucu-cucu yang orang tuanya telah meninggal mendahului atau berbarengan dengan pewaris. Mereka hanya diberi wasiat wajibah sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak melebihi dari 1/3 peninggalan. Oleh karena besar kecilnya bagian orang tuanya itu tergantung dengan sedikit atau banyaknya saudara orang tuanya, maka ada kemungkinan bahwa bagian orang tuanya 1/5, ¼, 1/3 atau ½ peninggalannya, kelebihannya itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Walaupun cucu tersebut dapat menduduki kedudukan orang tuanya dalam memperoleh harta warisan, namun jumlah yang diterimanya itu bukan semata-mata berdasarkan mengkuasai (dengan fardh atau ushubah) tetapai berdasarkan wasiat wajibah. Oleh karena itu memberikan bagiannya harus didahulukan daripada memberikan bagian kepada ahli waris.
Dalam hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari pendappat-pendapat ulama salaf dan khalaf yang menurut Fathur Rahman adalah tergantung kewajiban berwasiat kepada kerabat, kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat para fuqaha dan tabi’in besar ahli fiqih dan ahli hadits.

    B. WAKAF
1.      Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa arab yaitu waqf yang berarti menahan dan menghentikan atau mengekang. Sedangkan menurut istilah ialah menghentikan perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan allah SWT.
2.      Dasar Hukum Wakaf
Para ulama’berpendapat bahwa hukum wakaf itu dianjurkan oleh agama, sebab padanya merupakan salah satu bentuk kebajikan. Jadi, salah satu bentuk kebajikan melalui harta ialah dengan jalan berwakaf, sebab orang lain akan mendapat manfaat dari harta yang dimanfaatkannya itu.
a.      Al-Qur’an
·         Firman Allah dalam QS. al Hajj :  77.
....وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. (الحج : ٧٧)
Artinya:
“dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.
·         Firman Allah  dalam QS. Ali Imran: 92.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحَبُّوْنَ. (آل عمران : ٩٢)
Artinya :
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum  kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai”.
b.      Hadits
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh imam jama’ah kecuali bukhori dan ibnu majah dari Abi hurairah RA. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ اَلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ )
Artinya :
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya.”
3.      Rukun Wakaf
Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf, diantaranya:
a.       Wakif ( orang yang berwakaf ), pemilik harta yang mewakafkan hartanya dengan syarat kehendak sendiri bukan karena dipaksa.
b.      Mauquf ( harta yang diwakafkan ), pada permulaan wakaf diisyaratkan pada zaman Rasulullah maka sifat-sifat harta yang diwakafkan haruslah yang tahan lama dan bermanfaat seperti tanah dan kebun. Tetapi kemudian para ulama berpendapat bahwa harta selain tanah dan kebunpun dapat diwakafkan asal bermanfaat dan tahan lama, seperti binatang ternak, alat-alat pertanian, kitab-kitab ilmu pengetahuan dan bangunan. Akan tetapi dalam hal ini banyak para ulama yang berbeda pendapat. Adapun kesimpulan dari berbagai pendapat tersebut pada asasnya semua harta yang bermanfaat dapat diwakafkan, hanya saja harta yang tahan lama lebih lama pula mengalir pahalanya diterima oleh wakif dibanding dengan harta yang tidak tahan lama.
c.       Mauquufalaih ( tujuan wakaf ), antara lain untuk mencari keridhaan Allah SWT dan untuk kepentingan masyarakat.
d.      Lafadz atau ikrar wakaf (sighah) ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau dinyatakan oleh orang yang berwakaf, seperti: “Saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin”, atau “Saya wakafkan ini untuk membuat benteng dan kemaslahatan umum lainnya”. Kalau mewakafkan kepada sesuetu yang tertentu hendaklah ada kabul (jawab), tetapi wakaf untuk umum tidak disyaratkan kabul.
4.      Syarat-Syarat Wakaf
a.       Untuk Selama-lamanya merupakan syarat sahnya amalan wakaf, berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka jika seseoranga berkata “Saya mewakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun” wakaf semacam itu tidak sah karena tidak selamanya.
b.      Tidak boleh dicabut bila dalam melakukan wakaf telah sah maka pernyataan itu tidak boleh dicabut.
c.       Pemilikan wakaf tidak boleh dipindahtangankan, dengan terjadinya wakaf maka sejak itu harta wakaf telah menjadi milik Allah SWT dan tidak boleh dipindahtangankan kepada siapapun dan wajib dilindungi.
d.      Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya, tidak sah wakaf bila tujuannya tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran agama islam.
5.      Macam-Macam Wakaf
Ada dua macam wakaf yang terkenal dikalangan kaum muslimin, yaitu:
a.  Wakaf ahli atau wakaf keluarga yaitu wakaf yang diberikan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga waqif atau bukan. Misalnya mewakafkan sebidang tanah kepada seorang kyai.
b.   Wakaf khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum (orang banyak) misalnya mewakafkan tanah untuk membangun musholla, masjid atau madrasah. Manfaat yang diperoleh dari ibadah wakaf ini sangat besar, baik bagi diri yang mewakafkan maupun terutama bagi masyarakat dan agama. Bagi diri pewakafnya, manfaat dari wakaf antara lain dapat mengangkat derajat ketakwaannya disisi Allah SWT.
6.      Manfaat Wakaf
Adapun manfaat wakaf  bagi yang menerima wakaf  atau masyarakat antara lain:
a.       Dapat menghilangkan kebodohan
b.      Dapat menghilangkan ( mengurangi ) kemiskinan
c.       Dapat menghilangkan ( mengurangi ) kesenjangan sosial
d.      Dapat memajukan serta mensejahterakan umat
7.      Hikmah Wakaf
a.     Harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau berpindah tangan, karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditassarufkan, apakah itu dalam bentuk menjual, dihibahkan, atau diwariskan.
b.   Pahala dan keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan.
c.  Wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat antara lain untuk pembinaan mental spiritual, dan pembangunan physik
Oleh karena itu besarnya hikmah dan manfaat terhadap kehidupan umat, maka perlu dibentuk dan dirancang aturan yang mengikat mengenai wakaf ini.
8.      Pelaksanaan Wakaf Di Indonesia
Pelaksanaan wakaf diindonesia telah diatur oleh undang-undang republik indonesia No.41 tahun 2004 tentang wakaf yang disahkan oleh presiden RI Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 oktober 2004, dan diundangkan dijakarta pada tanggal pengesahannya oleh sekretaris Negara RI saat itu Prof.Dr Yusril Ihza Mahendra selain itu peraturan yang mengatur tentang masalah pewakafan tanah milik antara lain:
·      Undang-undang No.5 tahun 1960, tanggal 24 september 1960 tentang peraturan   dasar pokok-pokok agraria dan pasal 49 ayat (1) memberi isyarat bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
·         Peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
Di indonesia, sebelum lahirnya UU No.41 tahun 2004, Majelis ulama indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang, ( 11/5/2002).
a.    Wakaf Uang ( Cash Wakaf Wagf al-Nuqud ) adalah waqaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b.      Termasuk kedalam uang adalah surat-surat berharga.
c.      Wakaf uang hukumnya jaaz ( boleh ).
d.   Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
e.       Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannnya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Undang-undang perwakafan tahun 2004 ini muncul dengan beberapa pertimbangan diantaranya:
·  Bahwa wakaf sebagai lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum.
·   Bahwa wakaf perbuatan hukum yang telah lama hidup an dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan undang-undang.
9.      Implementasi Undang-Undang Tentang Wakaf
Undang-undang tentang wakaf wajib dipahami dan diimplementasikan oleh para praktisi wakaf dan lainnya seperti pemerintah, lembaga wakaf dan masyarakat sebagai objek sekligus subjek wakaf. Dalam undang-undangtentang wakaf No. 4 tahun 2004 ini, salah satu yang menarik dicermati dan dibahas yakni ihwal lembaga wakaf itu sendiri yang berfungsi dalam mengurusi wakaf secara nasional. Bila pemerintah telah menganggap penting undang-undang wakaf, itu artinya pemerintah telah sangat paham tentang pentingnya wakaf bagi kaum muslimin.
10.  Urgensi Badan Wakaf Indonesia
Amanah undang-undang wakaf ini, salah satunya yakni terbentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan sesungguhnya menjadi tujuan lahirnya UU wakaf. Dengan lahirnya badan perwakafan ini diproyeksikan perwakafan tanah air jauh lebih berkembang, terutama sekali dalam hal pengawasan, pembinaan dan terpenting pengelolaan wakaf itu sendiri.
11.  Perwakafan Dalam Undang-Undang  Di Indonesia
a.       Wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
b.      Wakaf merupakan perbuatan hukum  yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat.
c.       Regulasi Perwakafan di Indonesia
1)      Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2)      Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tantang Wakaf.
3)      Peraturan pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004.
4)      Peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
d.      Benda Tidak Bergerak yang Dapat Diwakafkan
1)      Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.
2)      Bangunan atau bagian bangunan  yang berdiri di atas tanah dan atau bangunan.
3)      Tanaman dan beda lain yang berkaitan dengan tanah
4)      Hal milik atas satuan rumah sesuai dengan peraturan perundag-undangan yang berlaku.
5)      Benda tidak bergerak lain yang sesuai dengan sejarah dan peraturan perundang-unagan.
e.       Benda Bergerak yang dapat Diwakafkan
1)      Uang Rupiah
2)      Logam Mulia
3)      Surat Berharga
4)      Benda bergerak lain yang berlaku
5)      Kendaraan
6)      Hak atas kekayaan intelektual
7)      Hak sewa sesuai ketentuan syariah dan peraturan perunda-undanga yang berlaku.
f.       Unsur-Unsur Wakaf
1)      Wakif
2)      Nadzir
3)      Harta Benda Wakaf
4)      Peruntukan Wakaf
5)      Jangka Waktu Wakaf
6)      Sighat Wakaf/Akad
g.      Wakif
1)      Wakif perseorangan (dewasa, sehat, dan cakap)  Organisasi (Pengurus memenuhi syarat sebagai wakif perseorangan, bergerak dalam bidang sosial/pendidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.
2)      Badan Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai wakif perseorangan, Badan Hukum sah, bergerak dalam bidang sosial/pendidikan/keagamaan Islam dan kemasyarakatan.
3)      Pemilik sah harta benda yang akan diwakafkan.
h.      Nadzir
1)      Nadzir Perorangan (dewasa, sehata, cakap).
2)      Organisasi (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, bergerrak dalam bidang sosial/pemdidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.
3)      Badan Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, Badan Hukum sah, bergerak dalam bidang sosial/ pendidikan/kemasyarakatan /keagamaan Islam.
4)      Terdaftar di BWI dan Kemenag (Pendaftaran dapat dilaksanakan setelah proses wakaf bagi nadzir baru.
i.        Tugas Nadzir
1)      Pengadministrasian
2)      Mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai tujuan
3)      Mengawasi proses pengelolaan
4)      Melaporkan hasil pengelolaan kepada BW) dan Kemenag.
5)      Nadzir dapat memperoleh imbalan maksimal 10 % dari hasil pengelolaan.
j.        Tata Cara Perwakafan Tanah Milik
1)      Calon Wakif menyerahkan bukti kepemilikan tanah yang akan diwakafkan berupa sertifikat, Keterangan tidak sengketa Pendaftaran tanah, Keterangan Bupati tentang kesesuaian Master Plan untuk diteliti PPAIW.
2)      PPAIW melakukan pemeriksaan terhadap Nazir.
3)      Wakif menyatakan Ikrar Wakaf dihadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan 2 orang saksi bermaterai cukup.
4)       PPAIW menuangan Ikrar Wakaf alam bentuk tertulis.
5)      PPAIW menuangkan membuat AIW ditandatangani Wakif, Nazir, Saksi dan PPAIW.
6)      AIW diserahkan kepada Nazir beserta dokumen tanah.
7)      PPAIW menerbitkan pendaftaran wakaf dan mendaftarkan kepada BWI dan Menteria Agama dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi.
8)       PPAIW memberikan bukti pendaftaran harta wakaf kepada Nazir.
9)      Nazir mengurus sertifikat tanah wakaf ke BPN.
10)  Terbit Sertifikat Tanah Wakaf.
k.      Wakaf Benda Bergerak Selain Uang
1)      Calon Wakif menyerahkan dokumen bukti kepemilikan hata benda wakaf (jika ada).
2)      PPAIW melakukan pemeriksaan Nazhir.
3)      Wakif menyatakan Ikrar Wakaf di hadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan dua oang saksi.
4)       PPAIW menuangkan Ikrara Wakaf dalam bentuk tertulis.
5)       PPAIW membuat AIW ditandatangani Wakif, Nazhir, saksi, PPAIW bermaterai cukup.
6)      AIW disrahkan kepada Nazhir beserta Harta Wakaf.
7)       PPAIW mendaftarkan Benda Wakaf kepada BWI dan Menag dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi.
8)      Nazhir mengurus pengalihan bukti kepemilikan kepada Instansi terkait.
9)      Terbit bukti kepemilikan Harta Benda Wakaf.
l.        Mengganti barang wakaf
Barang yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual.Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelahbarang tersebut dijual. Artinya, hasil jualnyadibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian, mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dantujuan wakaf semula tetap dapatditeruskan, yaitu memanfaatkan barang yangdiwakafkan tadi. Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan menurut inti dan tujuan hukumnya.

      C.    HIBAH
1.      Pengertian Hibah
Menurut bahasa hibah artinya pemberian. Sedangkan menurut istilah hibah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang secara cuma-cuma tanpa mengharapkan apa-apa. Dalam pembahasan fiqh Islam lafal hibah yakni pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya, dan langsung pindah pemilikannya saat akad hibah dinyatakan.
Pembarian tersebut dilakukan atas dasar kasih sayang serta dilatar belakangi oleh perasaan iba atau rasa kasihan untuk pengembangan ekonomi dari yang diberi pemberian hibah tersebut. Umpamanya hibah seorang ayah terhadap anaknya untuk pengembangan usaha kehidupan, atau hibah seorang kakek terhadap cucunya.
2.      Hukum Hibah
Hukum hibah adalah mubah (boleh). Adapun dengan hal ini, diperbolehkan memberikan sesuatu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT.
3.      Dasar Hukum Hibah
a.      Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 177 :
وَاَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّآئِلِيْنَ. (البقرة :١٧٧)
Artinya :
“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah : 177)
b.      Hadits
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. sebagai berikut :
مَنْ جَاءَهُ مِنْ أَخِيهِ مَعْرُوفٌ، مِنْ غَيْرِ إِشْرَافٍ وَلَا مَسْأَلَةٍ، فَلْيَقْبَلْهُ وَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ
Artinya :
“Dari Khalid bin ‘Adi sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda ‘Barangsiapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya’.” (HR. Ahmad)
4.      Rukun Hibah
Rukun hibah ada empat macam sebagai berikut :
a.      Pemberi hibah
Syaratnya ialah :
1)      Orang yang berhak memperedarkan hartanya dan memiliki barang yang diberikan.
2)      Baligh, berakal, dan cerdas. Maka anak kecil, orang gila, dan yang menyia-nyiakan harta tidak sah memberikan harta benda mereka kepada yang lain, begitu juga wali terhadap harta benda yang diserahkan kepadanya.
3)      Tidak memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan/pemboros.


b.      Penerima hibah
Yakni ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak memiliki. Tidak sah memberi kepada anak yang masih berada di dalam kandungan ibunya dan pada binatang, karena keduanya tidak dapat memiliki.
c.       Barang yang dihibahkan
Yakni ada barang yang diberikan, syaratnya hendaknya barang itu dapat dijual, kecuali :
1)      Barang-barang yang kecil. Misalnya dua atau tiga butir biji beras, tidak sah dijual, tetapi sah diberikan.
2)      Barang yang tidak diketahui tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
3)      Kulit bangkai sebelum disamak tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
d.      Penyerahan
Yakni adanya ijab dan kabul, misalnya orang yang memberi berkata, “Saya berikan ini kepada engkau.” Jawab yang diberi, “Saya terima.” Kecuali sesuatu yang menurut kebiasaan memang tidak perlu mengucapkan ijab dan kabul, misalnya seorang istri menghibahkan gilirannya kepada madunya, dan bapak memberikan pakaian kepada anaknya yang masih kecil. Tetapi apabila suami memberikan perhiasan kepada istrinya, tidaklah menjadi milik istrinya selain dengan ijab dan kabul. Perbedaan antara pemberian bapak kepada anak dengan pemberian suami kepada istri ialah: bapak adalah wali anaknya, sedangkan suami bukanlah wali terhadap istrinya. Pemberian pada waktu perayaan mengkhitan anak hendaklah dilakukan menurut adat yang berlaku di tiap-tiap tempat tentang perayaan itu.
5.      Ketentuan Hibah
Ketentuan hibah antara lain adalah sebagai berikut :
a.       Hibah dapat dianggap sah apabila pemberian itu sudah mengalami proses serah terima. Jika hibah itu baru diucapkan dan belum terjadi serah terima maka yang demikian itu belum termasuk hibah.
b.      Jika barang yang dihibahkan itu telah diterima maka yang menghibahkan tidak boleh meminta kembali kecuali orang yang memberi itu orangtuanya sendiri (ayah/ibu) kepada anaknya. Misalnya, hibah yang diberikan seorang ayah terhadap anaknya, yang dia lakukan untuk pembinaan dan pengembangan kehidupannya. Jika ayahnya itu melihat bahwa dengan hibah tersebut, anaknya justru menjadi lebih nakal dan semakin tidak teratur, maka dia boleh menarik kembali hibahnya itu. Selain hibah ayah terhadap anaknya itu, pemberi hibah tidak boleh menarik hibahnya kembali. Sebagaimana dikemukakan dalam salah satu hadits Nabi SAW. yang berbunyi :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ اَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً اَوْ يَهِبُ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا اِلاَّالْوَالِدَ فِيْمَا يُعْطِىْ وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِيْ يُعْطِى الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيْهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَاْكُلُ فَإِذَا شَبَعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِيْ قَيْءِهِ . (رواه ابو داود)
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, seseorang tidak boleh memberi sesuatu kemudian menarik kembali pemberiannya itu, kecuali pemberian ayah terhadap anaknya. Perumpamaan orang yang memberikan sesuatu kemudian menarik kembali pemberiannya itu, seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Abu Dawud)
6.      Syarat-syarat Barang yang Dihibahkan
Disyaratkan barang yang akan dihibahkan sebagai berikut :
a.       Harus ada waktu hibah
b.      Harus berupa harta yang bermanfaat
c.       Milik sendiri
d.      Barang yang dihibahkan telah diterima oleh penerima
e.       Penerima menerima hibah atas izin pemberi hibah
Adapun syarat-syarat bagi penghibah disyaratkan sebagai berikut :
a.       Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
b.      Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan
c.       Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya
d.      Penghibah itu tidak dipaksa, sebab akad yang mensyaratkan
e.       Keridhaan dalam keabsahannya
7.      Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a.       Hibah barang, yaitu memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada harapan apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
b.      Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
8.      Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
a.       Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
b.      Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
c.       Dapat mempererat tali silaturahmi
d.      Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka
      D.    HADIAH
1.      Pengertian Hadiah
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW. menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat memumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antar sesama muslim. Rasulullah SAW. bersabda : artinya “hendaknya kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi.” (HR. Abu Ya’la)
2.      Hukum Hadiah
Hukum hadiah adalah boleh (mubah). Adapun tentang dibolehkan untuk memberikan hadiah terdapat keterangan yang menjadi dasar hukum hadiah tersebut.
3.      Dasar Hukum Hadiah
a.      Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 :
....وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى.... (الماءدة : ٢)

Artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa,...” (QS. Al-Maidah : 2)
b.      Hadits
Nabi SAW. sendiri pun juga sering menerima dan memberi hadiah kepada sesama muslim, sebagaimana sabdanya:
عنْعَائِشَةَرَضِيَاللَّهُعَنْهَاقَالَتْكَانَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَقْبَلُالْهَدِيَّةَوَيُثِيبُعَلَيْهَ
Artinya :
“Rasulullah SAW. menerima hadiah dan beliau selalu membalasnya.” (HR. Al-Bazzar)
4.      Rukun Hadiah
Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya sama, yaitu :
a.       Orang yang memberi, syaratnya orang yang memberi benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya.
b.      Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki.
c.       Barang yang diberikan, syaratnya barang dapat dijual.
d.      Ijab qabul.




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
  • Wasiat adalah pemberian sesuatu kepada orang lain melalui pesan yang dinyatakan sebelum pemberinya meninggal, dan direalisasikan pesan pemberiannya itu sesudah pemberinya meninggal dunia.
  • Wakaf adalah menghentikan perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan allah SWT. 
  •  Hibah adalah pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya, dan langsung pindah pemilikannya saat akad hibah dinyatakan.
  • Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW. menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah.





DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Fenny Rahman. HS, M.Pd. 2015. Fiqih – Zakat, Mawaris, dan Wakaf.  Yogyakarta : K-Media
Rasyid, sulaiman. 1994. Fiqh islam (hukum fiqh lengkap) . Bandung:Sinar Baru Algensindo
Abidin , slamet. 1998. Fiqh ibadah . Bandung: CV.PUSTAKA SETIA
Suyono  , moh. HS.1998. Fiqh ibadah . Bandung: CV.PUSTAKA SETIA








































0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates